Uneasy Ride

Pertama kali mengetahui saya hamil, saya gak ada bayangan tentang berbagai konsekuensi berbadan dua. Meskipun banyak dapet cerita dari teman maupun keluarga, tetep aja saya menganggap kehamilan itu sebuah konsep abstrak.

Tiga bulan pertama, saya ngerasa masih kuat dan gak 'mabok'. Temen-temen kantor malah bilang saya termasuk bumil 'bandel' karena orang yang sedang hamil muda seringkali merasa lemas, lemah dan lesu. Saat itu juga saya pikir, "Bagus deh, mudah-mudahan seterusnya begini."

Sayangnya saya kepedean. Begitu usia kandungan tiga bulan satu minggu, saya ngerasa mual hebat sampai kadang-kadang sakit kepala. Bukan cuma morning sickness, tapi rasanya all-day-sickness. Saya gak mau makan nasi, gak bisa minum manis, bahkan gak pengen makan. I am so hungry but everything grosses me out. Huhuhu.

Kalaupun ada makanan yang saya kepengen, rasa mualnya yang gak bisa kompromi. Bukan sekali dua kali saya sudah berhadapan dengan sepiring makanan favorit yang menggugah selera tapi baru suapan keempat tau-tau saya pengen muntah.

Nah salah satu jenis makanan yang menurut saya tidak memancing mual adalah yang pedas-pedas. Tapi belum sampai seminggu, saya malah muntah bercampur darah. Yes, my friend, lambung saya luka.

Selain mual, saya juga harus mengatasi kondisi emosional. My mood swings have been out of control, plus I've had a few pregnancy meltdowns. Beberapa kali, di tengah-tengah pekerjaan, saya kabur ke musola atau toilet kantor, cuma buat nangis. Tanpa sebab.

I think, the blues came too early.

Saya juga jadi merindukan masa-masa menjadi lajang. I miss how independent and powerful I felt when I was single. Bukannya saya gak bersyukur dengan adanya suami -- justru dia memperlakukan saya dengan amat sangat baik -- tapi justru itulah yang membuat saya jadi semacam ngerasa.... powerless.

Jujur, susah banget waktu itu untuk sharing perasaan ini ke temen-temen, bahkan yang sama-sama sedang hamil. Kenapa? Because they worship pregnancy. Jelas banget mereka menikmati setiap detik proses hamil dan memiliki calon anak. Yang ada malah saya nanti yang diceramahi supaya bersyukur karena di luar sana masih banyak orang yang pengen hamil tapi gak bisa.

Akhirnya, saya menemukan artikel ini: Why I Think It’s OK Not to Love Being Pregnant. Alhamdulillah, lega bacanya. Kayak mewakili suara hati saya. Bukan masalah tidak mensyukuri rezeki Tuhan, tapi masalah hormonal-emosional ini memang bukan bagian favorit saya. Itu intinya.

Sekarang sih begitu menginjak usia kandungan lima bulan, baru deh saya mulai bisa menyesuaikan diri dengan perut yang mulai membuncit dan membuat sesak saat duduk atau berjalan, nafsu makan mulai membaik (malah menggila), serta mood yang mulai tenang.

And yes, I'm so thankful for my husband that God has blessed me with. Dia loh yang akhirnya memasak nasi (iya sih pake rice cooker :D), membuatkan susu, menyiapkan air hangat untuk mandi, sampai urusan sapu-ngepel juga diambil alih. Dia juga jadi rajin menyikat lantai kamar mandi, memastikan supaya lantai gak licin dan gak berbahaya. Jadi lebih protektif, in a good way. Alhamdulillah.

Mari, dijalani empat bulan lagi. Semoga kali ini sudah lebih siap tempur dengan kondisi apapun. Enak-gak enak ya dienakin ajalah. I am still incredibly grateful to be pregnant and I believe it will all be worth it.

Comments

Popular posts from this blog

Utang Mengutang

Kidzania & Masa Kecil (Lumayan) Bahagia