Yang Kedua
Saya dan Pak Suami tidak selalu satu suara kalau ngobrolin rencana punya anak kedua. Kadang saya ngerasa udah cukup deh satu anak, lebih ekonomis gitu kan, hehehe. Sementara bapake ngerasa sepi dan kasian sama si nona kalau cuma sendirian. Lain waktu, saya kepengen banget punya bayi lagi, eh malah Pak Suami yang ngingetin, situasi dan kondisi finansial tidak memungkinkan. "Nanti dulu," ceunah.
Lalu si nona tau-tau tahun ini enam tahun. :')
Kami memang pengen kasih jarak 4-5 tahun dengan anak kedua, namun bahkan setelah ulang tahun Kana yang keempat dan kelima berlalu, kami tetap punya kecemasan ini itu. Kalau ada yang ngomong, "Buat anak mah ada aja rezekinya, jangan takut." Saya malah khawatir. Kok bisa nggampangin gitu, karena realistis aja, punya anak itu cost-nya besarrrr. Saya lebih ngerasa relatable sama, "KB yang paling ampuh adalah nginget biaya sekolah anak." Hahaha, true dat.
Hingga suatu hari di akhir tahun 2019, kami sepakat tahun depan berenacana punya momongan lagi.
Entah memang langsung di-ijabah apa gimana, memasuki bulan Januari dan hingga akhir bulan, saya gak menstruasi. Tanggal 31 Januari itu, saya beli testpack, langsung coba, dan hasilnya......
POSITIF.
Alhamdulillah, Allahu Akbar. Mungkin karena memang berharap, jadinya sangat excited. Beda banget waktu kehamilan pertama tu saya malah syok.
Selanjutnya adalah minggu yang emosional..
Sabtu, 1 Februari:
Berhubung awal Februari kami ada rencana menghadiri pernikahan sahabat suami di Bandung, jadinya belum kontrol ke dokter. Di Bandung, Pak Suami sempat beli testpack merek lain, dan hasilnya tetap dua garis. Jadilah kami cukup pede untuk langsung mengabari keluarga. Mereka semua sama antusiasnya dan ikut mendoakan kelancaran kehamilan ini.
Di Bandung, saya tetap jalan-jalan seperti biasa dan ngemil makanan-makanan favorit, dan belum ngerasa ada perubahan berarti.
Selasa, 4 Februari:
Sepulangnya dari Bandung, kami ke rumah sakit. Nah, waktu itu ada pernyataan dokter yang bikin saya was-was. Ketika di-USG, kantung rahim ada tapi denyut janin tidak terdeteksi, janinnya juga nyaris tidak terlihat. Tapi dokter bilang, kemungkinan seperti itu ada, terutama karena usia kehamilan yang masih baru. Jadilah kami pulang malam itu dengan, terutama saya, perasaan yang campur aduk.
Berhubung waktu anak pertama, langsung terlihat 'kacang' yang jelas di USG, jadi hal ini baru buat kami. Googling macem-macem malah bikin pusing.
In less than 24 hours...
Rabu, 5 Februari:
Keesokan harinya, sepulang jemput Kana dari sekolah, sekitar pukul 12-an siang, saya tiba-tiba sakit perut. Kram, seperti kontraksi juga. Duh, itu nyerinya sampai pinggang dan paha kiri, bahkan seperti terbakar. Kana rusuh ngeliat saya kesakitan gitu dan manggil oma-nya. Mama langsung nelfon ke Pak Suami yang sedang ngantor, dan gak tau pake kecepatan apa, 30 menit kemudian belio dateng. :')
Sementara nunggu, saya sempet minta kompres air hangat di botol dan lumayan meredam nyeri tapi kalau saya gerak sedikit rasanya perut dan pinggang mau copot.
Di mobil, saya sempat denger Mama bilang ke Pak Suami, "Nanti kalau disuruh kuret, jangan mau ya." Ngilu rasanya, saya gak siap denger kemungkinan terburuk itu.
Sampai di RS langsung masuk IGD lalu, karena obgyn saya hari itu tidak praktek, saya dicek oleh dokter kandungan lain. Saat USG, sang dokter bilang kalau kantung rahimnya tdk bulat (?) lalu ukurannya kecil untuk ukuran 5-6 minggu kehamilan. Saya mulai deg-degan.
Kemudian suster memberikan obat pereda nyeri yang dimasukkan lewat dubur, eh nggak lama setelah saya turun dari tempat tidur periksa, saya ngerasa ada cairan yang keluar. Saya cek, benar ada darah encer.
Kepala saya langsung berat, antara stres memikirkan kemungkinan terburuk, atau memang efek badan yang tidak fit. Sementara kram perut sudah mulai reda. Saya diminta bed rest oleh dokter dan menjadwalkan kontrol lanjutan.
Kamis, 6 Februari:
Hari berikutnya, Alhamdulillah sudah tidak sakit perut. Namun saya jaga-jaga dengan pakai pembalut. Sempat muncul setitik darah di pagi hari, lalu menjelang siang ada bercak coklat, tapi setelah itu sampai malam bersih. Saya banyak berdoa dan mencoba positive thinking. Meski sejujur-jujurnya takut. :'/
Jumat, 7 Februari:
Bangun tidur dengan kondisi hidung mampet dan mata berair. Malah setelah itu tenggorokan sakit dan saya batuk kering. Sebel banget rasanya gak berdaya seperti itu. Kehamilan yang lemah ditambah demam. What a combo.
Dan yang paling bikin stres adalah, tiap bersin dan batuk, keluar bercak darah. Bahkan menjelang siang, terasa lebih banyak yang mengalir. Saya cerita ke Pak Suami, beliau pengen cek ke RS hari itu juga. Tapi saya bilang besok aja, kebetulan ada jadwal praktek dokter kami, jadi biar lebih nyaman juga.
Sabtu, 8 Februari:
Masih dengan episode bercak-bercak kemerahan dan kecoklatan. Saya berdoa semalaman, ngajak ngobrol juga si utun inji dalam perut. Saya coba menghilangkan pikiran-pikiran buruk yang berkecamuk. Saya masih mau bertahan.
Sayangnya, malam itu dokter mengkonfirmasi, saya keguguran. :(
Dari penglihatan USG, janinnya sudah benar-benar tidak ada. Saya terdiam, Pak Suami, sambil menggendong si nona (yang sangat excited akan jadi kakak), juga hening.
Dokter menyarankan pengguguran secara natural, jadi tidak perlu kuret atau obat-obatan. "Akan lebih lama memang, tapi tidak sesakit kalau dikasi 'pendorong' atau dikuret. Gakpapa ya, istirahat aja," katanya menenangkan.
Sambil menunggu antrian pembayaran, Pak Suami berulang-ulang mengingatkan, "Ikhlas ya, pasti ada alasannya kenapa belum dikasih sekarang."
Sampai di rumah, tangis saya pecah. Ironis memang, dua kali merasakan hamil, dua kali juga saya tersedu-sedu, tapi dengan dua alasan yang berbeda pula. Ah, manusia. :')
Akhirnya malam minggu itu jadi sendu sekali, karena pillow talk saya dan suami menjelang tidur bikin saya banjir air mata. Katanya,
"Maaf ya adek nahan sakitnya sendiri."
"Sempet mimpi, adek bilang 'Udah kosong ni, udah gak ada lagi'. Ternyata bener."
"Bukan berarti gak sedih ya. Cuma mau adek sehat. Gak tega liat sakit gitu."
"Yang penting kita jangan lupa bersyukur, masih ada Kana loh, jangan sampai kita lupa yang ada di depan mata. Kalau gini berarti sekarang kita masih disuruh fokus ke Kana."
;___;
Seminggu kemudian kami kembali ke dokter dan beliau menyatakan kantong rahim sudah tertutup. It's official, then. Walau sudah berlapang dada, tetep terasa pahit gitu. Apalagi kalau lagi kontrol ke RS ketemu ibu-ibu hamil atau yang sedang gendong bayi kan, makin miris jadinya.
Mungkin ini teguran, atau malah mungkin Allah menghindarkan kami dari sesuatu yang nggak baik. Insya Allah, kalau masih dikasih rezeki bisa hamil lagi, kami bisa lebih siap. Aamiiin.
P.S:
Belakangan saya baca-baca tentang 'kehamilan kosong', dan dari tanda-tandanya saya mengalami hal tersebut. Bisa dicek lengkapnya di sini.
Comments