Sekolah Perempuan Ciliwung: Perjuangan dari Pinggir Kali
Sekolah Perempuan Ciliwung di Gang Pelangi, Kelurahan Rawajati, Jakarta Selatan, hanya sekolah sederhana. Tak ada ruang kelas apalagi meja dan bangku. Sebagai alas duduk, digunakan terpal. Lokasinya di tanah terbuka di pinggiran Kali Ciliwung dengan semilir angin sepoi-sepoi. Sebuah papan tulis dipasang dengan menumpang dinding mushala. "Kalau udah mulai ngantuk, biasanya kita nyanyi-nyanyi dulu," kenang Khusniyah, salah seorang murid sekaligus pengurus sekolah.
Para murid di Sekolah Perempuan Ciliwung itu terdiri dari para ibu rumah tangga. Sudah dua bulan ini mereka tidak bersekolah. Luapan Kali Ciliwung dua bulan lalu* otomatis menghentikan kegiatan belajar-mengajar. Tanah lumpur dan sisa sampah mengering membuat permukaan tanah di lokasi belajar jadi tidak rata.
Walau namanya sekolah, mereka tidak memakai kurikulum formal. Di sini, para murid yang berjumlah 62 orang belajar baca tulis dan isu-isu kekinian. Misalnya kesetaraan gender, kesehatan reproduksi, lingkungan, sampai politik. Pengajarnya adalah para relawan dan aktivis dari lembaga swadaya masyarakat. "Kami diberi tahu soal hak-hak sebagai perempuan dan belajar kritis," kata Musriya yang saat ini menjabat Ketua Sekolah Perempuan Ciliwung.
Meski rata-rata berpendidikan terakhir sekolah dasar, ibu-ibu tersebut memiliki keingintahuan tinggi. Saking seru berdiskusi, sekolah yang berlangsung sekali seminggu itu bisa menambah durasi dari normalnya dua jam. "Apalagi kalau membahas kesehatan reproduksi, bisa sampai molor-molor waktunya," imbuh Musriya.
Awalnya, cerita Musriya, sekolah tersebut dibentuk pada 2003 oleh LSM bernama KAPAL Perempuan. Relawan dari KAPAL mensurvey daerah bantaran Kali Ciliwung dan mengajak ibu-ibu di daerah tersebut berkumpul dan membentuk komunitas belajar. Mereka setuju karena penasaran sekaligus mengisi waktu luang. "Katanya juga mau dapet pinjaman, ibu-ibu siapa sih yang nggak mau dapet pinjaman."
Mereka sepakat menjadikan komunitas tersebut bernama Sekolah Perempuan Ciliwung lengkap dengan kepengurusan. "Karena kalau kumpul-kumpul aja biasanya disepelekan, kalo bentuknya jelas kan ada kewajiban untuk belajar dan sekolah," jelas Musriya.
Awalnya murid mencapai 100 orang namun setelah beberapa tahun anggotanya semakin surut. "Ada yang pulang kampung, ada yang ngerasa nggak bermanfaat, ada juga yang dilarang suami soalnya isu-isunya dianggap berat." Malah, sempat ada juga e-mail bernada mengancam dikirim ke kantor KAPAL. "Semacam surat kaleng, katanya kami ini perkumpulan yang melawan suami," kata Ana, Koordinator Baca Tulis.
Tak hanya itu, mereka sampai dituduh terlibat kristenisasi. Hal itu dipicu saat dosen-dosen dari universitas Katolik mengajar anak-anak penghuni bantaran Kali Ciliwung. "Sebenernya mereka mau membantu anak-anak pinggir kali dengan ngajarin Bahasa Inggris, Matematika. Tujuannya bagus, tapi orang-orang keburu nuduh yang nggak-nggak, dibilang mau dibaptis segala," sahut Musriya.
Namun para ibu ini pantang menyerah. Apalagi mereka merasakan banyak manfaat dari sekolah ini, terutama pengetahuan dan wawasan. "Contoh kecil, dulu kita pikir politik itu buat orang gedean doang. Ternyata nggak, rumah tangga juga pake politik," kata Mistina, ibu empat anak yang kini menjabat Sekretaris Sekolah.
Lama-kelamaan para pengurus menjabat pula sebagai guru. Secara bergantian, pengurus yang berjumlah enam orang mengajari teman-temannya. Fasilitator dari KAPAL memberikan training dan modul serta mengawasi saat proses belajar berlangsung. Selain itu, mereka juga mendirikan koperasi simpan pinjam untuk menunjang ekonomi para ibu dari keluarga berpenghasilan menengah ke bawah ini.
Seiring berjalannya waktu, Sekolah Perempuan Ciliwung makin mendapat perhatian terutama dari media dan LSM. Dan sindiran-sindiran pun tak terdengar lagi. Ibu-ibu tersebut bahkan ikut turun ke jalan beraksi membela kaumnya. "Waktu kasus TKW meninggal di kolong jembatan Arab Saudi, kami bersama Migrant Care (LSM buruh migran--red) mendatangi Kedutaan Arab Saudi. Kami juga menemui Menakertrans waktu itu, meminta TKW tersebut dipulangkan dan dimakamkan di Indonesia," kata Musriya.
Tak jarang, mereka menggelar aksi teatrikal ketika berdemonstrasi. Mereka bersama-sama membuat naskah dan menentukan pemeran. "Pernah pas demo ke Kedubes Malaysia, ceritanya saya jadi TKW yang mau dihukum lalu ada yang berperan sebagai hakim. Dan saking menjiwainya, saya sampe nangis beneran waktu hakim memutuskan tidak dihukum," cerita Kusniyah bersemangat.
Hampir tujuh tahun, satu hal yang menjadi mimpi mereka saat ini adalah tempat permanen untuk sekolah. Musriya mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah. “Sekolah ini udah sering diliput sama media-media, tapi kenapa kok nggak ada perhatian dari pemerintah," kata ibu satu anak itu.
Harapan sempat membuncah ketika Februari lalu, anggota DPR RI Anas Urbaningrum mengunjungi lokasi banjir Ciliwung. "Mungkin saat itu dia dikasih tau, di sini ada sekolah pinggir kali, belum dapet bantuan dari pemerintah. Terus dia bilang ke saya, pertahankan terus bu, nanti dibantu Rp 50 juta," cerita Musriya. Sayang, hingga kini mereka belum mendapat realisasi dari anggota Partai Demokrat itu.
Padahal, kata Mistina, uang sebesar itu sungguh bermanfaat banyak. Mereka sudah berangan-angan menyewa tempat untuk sekolah. "Sisanya pengennya dibikin koperasi sembako gitu, supaya anggota bisa ngerasain manfaat juga," cetus Mistina.
Terus berjuang untuk kaum Hawa, tanpa melupakan kodrat mereka sebagai ibu dan istri. Itulah cita-cita terbesar dalam diri keempat ibu tersebut. Seperti kata Khusniyah berikut ini. "Bisa mengatur anak supaya berguna bagi nusa bangsa, mengingatkan suami supaya bijaksana, sebagai pengurus sekolah bisa mengatur anggotanya dengan baik, dan sebagai pengajar supaya teman-teman bisa memahami pelajaran."
*wawancara dilakukan April 2010*
Walau namanya sekolah, mereka tidak memakai kurikulum formal. Di sini, para murid yang berjumlah 62 orang belajar baca tulis dan isu-isu kekinian. Misalnya kesetaraan gender, kesehatan reproduksi, lingkungan, sampai politik. Pengajarnya adalah para relawan dan aktivis dari lembaga swadaya masyarakat. "Kami diberi tahu soal hak-hak sebagai perempuan dan belajar kritis," kata Musriya yang saat ini menjabat Ketua Sekolah Perempuan Ciliwung.
Meski rata-rata berpendidikan terakhir sekolah dasar, ibu-ibu tersebut memiliki keingintahuan tinggi. Saking seru berdiskusi, sekolah yang berlangsung sekali seminggu itu bisa menambah durasi dari normalnya dua jam. "Apalagi kalau membahas kesehatan reproduksi, bisa sampai molor-molor waktunya," imbuh Musriya.
Awalnya, cerita Musriya, sekolah tersebut dibentuk pada 2003 oleh LSM bernama KAPAL Perempuan. Relawan dari KAPAL mensurvey daerah bantaran Kali Ciliwung dan mengajak ibu-ibu di daerah tersebut berkumpul dan membentuk komunitas belajar. Mereka setuju karena penasaran sekaligus mengisi waktu luang. "Katanya juga mau dapet pinjaman, ibu-ibu siapa sih yang nggak mau dapet pinjaman."
Mereka sepakat menjadikan komunitas tersebut bernama Sekolah Perempuan Ciliwung lengkap dengan kepengurusan. "Karena kalau kumpul-kumpul aja biasanya disepelekan, kalo bentuknya jelas kan ada kewajiban untuk belajar dan sekolah," jelas Musriya.
Awalnya murid mencapai 100 orang namun setelah beberapa tahun anggotanya semakin surut. "Ada yang pulang kampung, ada yang ngerasa nggak bermanfaat, ada juga yang dilarang suami soalnya isu-isunya dianggap berat." Malah, sempat ada juga e-mail bernada mengancam dikirim ke kantor KAPAL. "Semacam surat kaleng, katanya kami ini perkumpulan yang melawan suami," kata Ana, Koordinator Baca Tulis.
Tak hanya itu, mereka sampai dituduh terlibat kristenisasi. Hal itu dipicu saat dosen-dosen dari universitas Katolik mengajar anak-anak penghuni bantaran Kali Ciliwung. "Sebenernya mereka mau membantu anak-anak pinggir kali dengan ngajarin Bahasa Inggris, Matematika. Tujuannya bagus, tapi orang-orang keburu nuduh yang nggak-nggak, dibilang mau dibaptis segala," sahut Musriya.
Namun para ibu ini pantang menyerah. Apalagi mereka merasakan banyak manfaat dari sekolah ini, terutama pengetahuan dan wawasan. "Contoh kecil, dulu kita pikir politik itu buat orang gedean doang. Ternyata nggak, rumah tangga juga pake politik," kata Mistina, ibu empat anak yang kini menjabat Sekretaris Sekolah.
Lama-kelamaan para pengurus menjabat pula sebagai guru. Secara bergantian, pengurus yang berjumlah enam orang mengajari teman-temannya. Fasilitator dari KAPAL memberikan training dan modul serta mengawasi saat proses belajar berlangsung. Selain itu, mereka juga mendirikan koperasi simpan pinjam untuk menunjang ekonomi para ibu dari keluarga berpenghasilan menengah ke bawah ini.
Seiring berjalannya waktu, Sekolah Perempuan Ciliwung makin mendapat perhatian terutama dari media dan LSM. Dan sindiran-sindiran pun tak terdengar lagi. Ibu-ibu tersebut bahkan ikut turun ke jalan beraksi membela kaumnya. "Waktu kasus TKW meninggal di kolong jembatan Arab Saudi, kami bersama Migrant Care (LSM buruh migran--red) mendatangi Kedutaan Arab Saudi. Kami juga menemui Menakertrans waktu itu, meminta TKW tersebut dipulangkan dan dimakamkan di Indonesia," kata Musriya.
Tak jarang, mereka menggelar aksi teatrikal ketika berdemonstrasi. Mereka bersama-sama membuat naskah dan menentukan pemeran. "Pernah pas demo ke Kedubes Malaysia, ceritanya saya jadi TKW yang mau dihukum lalu ada yang berperan sebagai hakim. Dan saking menjiwainya, saya sampe nangis beneran waktu hakim memutuskan tidak dihukum," cerita Kusniyah bersemangat.
Hampir tujuh tahun, satu hal yang menjadi mimpi mereka saat ini adalah tempat permanen untuk sekolah. Musriya mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah. “Sekolah ini udah sering diliput sama media-media, tapi kenapa kok nggak ada perhatian dari pemerintah," kata ibu satu anak itu.
Harapan sempat membuncah ketika Februari lalu, anggota DPR RI Anas Urbaningrum mengunjungi lokasi banjir Ciliwung. "Mungkin saat itu dia dikasih tau, di sini ada sekolah pinggir kali, belum dapet bantuan dari pemerintah. Terus dia bilang ke saya, pertahankan terus bu, nanti dibantu Rp 50 juta," cerita Musriya. Sayang, hingga kini mereka belum mendapat realisasi dari anggota Partai Demokrat itu.
Padahal, kata Mistina, uang sebesar itu sungguh bermanfaat banyak. Mereka sudah berangan-angan menyewa tempat untuk sekolah. "Sisanya pengennya dibikin koperasi sembako gitu, supaya anggota bisa ngerasain manfaat juga," cetus Mistina.
Terus berjuang untuk kaum Hawa, tanpa melupakan kodrat mereka sebagai ibu dan istri. Itulah cita-cita terbesar dalam diri keempat ibu tersebut. Seperti kata Khusniyah berikut ini. "Bisa mengatur anak supaya berguna bagi nusa bangsa, mengingatkan suami supaya bijaksana, sebagai pengurus sekolah bisa mengatur anggotanya dengan baik, dan sebagai pengajar supaya teman-teman bisa memahami pelajaran."
*wawancara dilakukan April 2010*
Comments