In Media We (do not) Trust?
Dulu pas kuliah, yang namanya baca koran dan update tentang berita apapun kudu wajib mesti. Ikutan pers mahasiswa juga jadi bikin semangat mempelajari gaya bahasa di beberapa media. Masuk kerja pertama kali juga di portal berita, kemudian saya dapet beasiswa buat belajar jurnalistik selama setahun.
Kurang woke apa coba? :)))
Sayangnya makin ke sini, saya justru jadi alergi sama media, terutama online. Menurut saya, banyak portal ngasal dalam menyajikan berita. Yang penting tayang secepetnya, kalo bisa lebih dulu sepersekian detik dari kompetitor. Jangan lupa judul yang fantastis, bombastis, kalo perlu mistis.
Istilah sekarang si click bait ya. Tapi gak cuma pemberian judul yang bikin saya misuh-misuh. Terutama karena pernah terjadi di kalangan dekat. Kutipan dari narasumber dipenggal, lalu diberi narasi, sehingga jadi sebuah pernyataan sepihak atau berat sebelah. Atau lebih parah lagi, dipelintir aja gitu, A ngomong B, yang ditulis A ngomong C.
Paman saya dulunya birokrat, lalu namanya terseret di sebuah kasus. Sampai persidangan, sebagian besar pernyataan beliau dibolak-balik sama jurnalis, dan jadilah isi berita yang udah pasti ngaco. Saya tahu karena keluarga besar datang mengikuti proses dan ada sepupu-sepupu yang biasanya bergantian merekam. Jadi kami punya transkrip perkataan sebenarnya.
Saya malah curiga para reporter sebenernya gak dengerin seksama, jadi kalimat sepotong-sepotong dibikin berita. Dan ini media besar loh. Pihak keluarga sempet minta koreksi ke beberapa situs pun, rasanya sia-sia karena ada puluhan bahkan ratusan media yang main kutip aja.
Begitu udah naik beritanya, bisa dipastikan para komentator 'handal' tiba-tiba gentayangan. Memenuhi kolom komentar dengan kalimat-kalimat ngasal, yang saya yakin di kehidupan nyata juga mereka gak berani ngomong itu langsung ke orangnya. Cupu.
Jadi saya jarang banget buka situs atau aplikasi berita sekarang ini. Saya tahu berita terhangat biasanya dari media sosial, terutama Twitter. Waktu pemilihan presiden 2014, saya sempat juga ngerasa jengah buka apps ini, banyak yang berantem antara pendukung A dan B. Sekarang saya ngerasa Twitter udah kembali ke kodratnya, dengan joke receh, video lucu, sampai baca thread dari tentang pengetahuan sampai memetwit. :))) Tapi gak tau ya sampai kapan keseruan ini bertahan, soalnya tahun depan udah pilpres lagi, huft.
Kalau ada berita tertentu yang berhubungan dengan politik, saya memilih jadi silent reader aja, gak mau kasih dukungan atau kecaman. Terus mending cari sumber lain yang juga kredibel, harus ngerti dari berbagai sisi. Satu kutipan masa kuliah yang saya inget sampai sekarang, "There are no permanent enemies, and no permanent friends, only permanent interests."
Saya apresiasi teman-teman yang tetap semangat mengikuti berita, terutama yang hard news. Buat saya pribadi, politik udah kayak dagelan, terutama kalau mendengar cerita-cerita dari paman saya tadi. Dan media pun memberi 'panggung' untuk para politisi tersebut. So, it's more like a show business.
Belum lagi masyarakat kita kayak kena gegar budaya untuk urusan teknologi informasi ini. Saya sempat baca istilah: smart phone, dumb user. Karena berita makin mudah didapat, tapi kok makin gampang juga orang nelan bulat-bulat. Coba cek kolom komentar di berbagai portal berita, atau akun medsos yang membahas entertainment sekalipun. Haduh itu orang-orang jempolnya pada jahat-jahat banget. Memang benar, ibu jari lebih kejam dari ibu tiri.
Sebetulnya Indonesia tu darurat literasi digital, ya gak si?
Mulai ngalor-ngidul nih pembahasannya. :))) Intinya si, menurut saya media yang ngasih asupan informasi harus menunjukkan integritas, lalu masyarakat juga gak boleh percaya begitu aja tentang apapun yang ditulis media, terutama di internet. Baru baca sebaris langsung narik kesimpulan, langsung emosi. Buang-buang energi aja. Mending kuota dipakai buat browsing resep masakan, itinerary perjalanan, atau cuci mata di online shop, setuju?
*self high five*

Comments