Positive Birth
Dulu kalo baca-baca cerita melahirkan, suka ngilu dan keder sendiri. Kayaknya horor banget gitu. Sakitnya, jeritannya, robeknya, duh..
Herannya, begitu hamil, bukannya gentar saya justru membulatkan tekad untuk bisa lahiran normal. Gak tau apa motivasinya, pokoknya mau melahirkan tanpa operasi. Saya mau, ngerasain 'kenikmatan' proses partus alami.
Masalahnya, minus mata saya tinggi.
Tapi saya pantang mundur. Berbekal surat rekomendasi dari obgyn, saya mendatangi dokter spesialis mata untuk memeriksa kondisi retina saya. Konon, wanita ber-minus tinggi bisa-bisa aja melahirkan normal asal retina tidak tipis. Kalau retina tipis, risiko retina robek karena proses mengejan saat melahirkan itu sangat besar. Akibatnya, bisa terjadi kebutaan. Solusi lain, mata harus di-laser supaya kondisinya prima kembali.
Saya buang jauh-jauh perasaan takut itu dan meyakinkan diri sendiri (dan suami, tentunya) kalau, "niat baik pasti ada jalannya."
Dokter mata meneteskan cairan khusus di kedua bola mata kemudian saya diminta memejamkan mata sekian menit. Kemudian mata saya 'diteropong' dengan sebuah alat.
Kesimpulannya, retina saya tidak mengalami penipisan. Alhamdulillah.
Tapi tentu persoalan gak selesai sampai di situ. Dokter mata bilang, orang yang matanya tidak punya minus aja punya risiko, karena saat melahirkan itu kan banyak otot dan syaraf yang ketarik, dan salah satunya yang menyambung ke bagian mata. Bu Dokter menyarankan, kalau memang masih mau lahiran normal, banyak jalan-jalan dan belajar teknik pernapasan. Supaya proses persalinannya lancar, jadi mengejannya juga tidak "maksa banget".
Dari dokter mata, saya dan suami balik lagi meminta pendapat obgyn kami. Syukurlah beliau supportif sekali untuk hal ini. Belakangan sesudah lahiran, waktu saya check up lagi, Bu Obgyn bilang dia banyak cerita soal 'kesuksesan' saya ini ke pasien-pasiennya yang memiliki masalah minus mata juga. Katanya, buat memotivasi mereka supaya bisa lahiran normal. :')
Eniwei, meski lampu hijau sudah menyala, tetap harus jaga-jaga. Bujet biaya lahiran juga harus dipersiapkan kalau-kalau nanti harus di-operasi.
Saya pun makin rajin ikut kelas senam hamil yang diadakan rumah sakit. Kalau tidak sempat, saya cari video-videonya di YouTube. Saya juga jadi keranjingan prenatal yoga. Saya suka spontan mempraktekkan gaya pernapasan yang diajarkan bidan kalau terjadi kontraksi. Sambil baca buku, sambil scrolling media sosial di handphone, sambil mandi, pokoknya random aja.
Saya juga menghafal doa-doa untuk persalinan, kemudian rutin membaca Alquran sesudah shalat Magrib. Tadinya, saya punya target khatam sebelum menikah, nyatanya baru kesampaian waktu hamil usia 34 minggu.
Yang pasti, banyak-banyak memberi positive affirmation pada diri sendiri. Pasti bisa lahiran normal, pasti bisa lahiran lancar. Pasti bisa lahiran normal, pasti bisa lahiran lancar.
Tiba di hari H, di saat 'serangan-serangan' dari dalam tubuh bermunculan, saya memperbanyak zikir. Daripada saya teriak-teriak malah menghabiskan energi, mendingan disimpan supaya kuat mengejan. Memang gak gampang, sempet gak tahan malah, tapi perlahan justru saya pasrah dan menikmati setiap kontraksi yang makin luar biasa. Fokus saya cuma satu waktu itu: kumpulkan kekuatan lalu nanti dorong sekencang-kencangnya. Hehehe.
Cerita kelahiran si nona kecil selengkapnya bisa dibaca di sini.
Kalau ditanya, trauma gak sehabis melahirkan? Jawaban saya, Alhamdulillah enggak. Saya sadar penuh dari awal, kalau melahirkan normal dengan kondisi mata minus itu sangat-sangat berisiko, tapi saya tau kemampuan diri sendiri. Kalo gak yakin, mungkin saya akan milih caesar aja tanpa pikir dua kali. So it was a crazily brave act. I am so proud of myself and I respect myself much more now.
Herannya, begitu hamil, bukannya gentar saya justru membulatkan tekad untuk bisa lahiran normal. Gak tau apa motivasinya, pokoknya mau melahirkan tanpa operasi. Saya mau, ngerasain 'kenikmatan' proses partus alami.
Masalahnya, minus mata saya tinggi.
Tapi saya pantang mundur. Berbekal surat rekomendasi dari obgyn, saya mendatangi dokter spesialis mata untuk memeriksa kondisi retina saya. Konon, wanita ber-minus tinggi bisa-bisa aja melahirkan normal asal retina tidak tipis. Kalau retina tipis, risiko retina robek karena proses mengejan saat melahirkan itu sangat besar. Akibatnya, bisa terjadi kebutaan. Solusi lain, mata harus di-laser supaya kondisinya prima kembali.
Saya buang jauh-jauh perasaan takut itu dan meyakinkan diri sendiri (dan suami, tentunya) kalau, "niat baik pasti ada jalannya."
Dokter mata meneteskan cairan khusus di kedua bola mata kemudian saya diminta memejamkan mata sekian menit. Kemudian mata saya 'diteropong' dengan sebuah alat.
Kesimpulannya, retina saya tidak mengalami penipisan. Alhamdulillah.
Tapi tentu persoalan gak selesai sampai di situ. Dokter mata bilang, orang yang matanya tidak punya minus aja punya risiko, karena saat melahirkan itu kan banyak otot dan syaraf yang ketarik, dan salah satunya yang menyambung ke bagian mata. Bu Dokter menyarankan, kalau memang masih mau lahiran normal, banyak jalan-jalan dan belajar teknik pernapasan. Supaya proses persalinannya lancar, jadi mengejannya juga tidak "maksa banget".
Dari dokter mata, saya dan suami balik lagi meminta pendapat obgyn kami. Syukurlah beliau supportif sekali untuk hal ini. Belakangan sesudah lahiran, waktu saya check up lagi, Bu Obgyn bilang dia banyak cerita soal 'kesuksesan' saya ini ke pasien-pasiennya yang memiliki masalah minus mata juga. Katanya, buat memotivasi mereka supaya bisa lahiran normal. :')
Eniwei, meski lampu hijau sudah menyala, tetap harus jaga-jaga. Bujet biaya lahiran juga harus dipersiapkan kalau-kalau nanti harus di-operasi.
Saya pun makin rajin ikut kelas senam hamil yang diadakan rumah sakit. Kalau tidak sempat, saya cari video-videonya di YouTube. Saya juga jadi keranjingan prenatal yoga. Saya suka spontan mempraktekkan gaya pernapasan yang diajarkan bidan kalau terjadi kontraksi. Sambil baca buku, sambil scrolling media sosial di handphone, sambil mandi, pokoknya random aja.
Saya juga menghafal doa-doa untuk persalinan, kemudian rutin membaca Alquran sesudah shalat Magrib. Tadinya, saya punya target khatam sebelum menikah, nyatanya baru kesampaian waktu hamil usia 34 minggu.
Yang pasti, banyak-banyak memberi positive affirmation pada diri sendiri. Pasti bisa lahiran normal, pasti bisa lahiran lancar. Pasti bisa lahiran normal, pasti bisa lahiran lancar.
Tiba di hari H, di saat 'serangan-serangan' dari dalam tubuh bermunculan, saya memperbanyak zikir. Daripada saya teriak-teriak malah menghabiskan energi, mendingan disimpan supaya kuat mengejan. Memang gak gampang, sempet gak tahan malah, tapi perlahan justru saya pasrah dan menikmati setiap kontraksi yang makin luar biasa. Fokus saya cuma satu waktu itu: kumpulkan kekuatan lalu nanti dorong sekencang-kencangnya. Hehehe.
Cerita kelahiran si nona kecil selengkapnya bisa dibaca di sini.
Kalau ditanya, trauma gak sehabis melahirkan? Jawaban saya, Alhamdulillah enggak. Saya sadar penuh dari awal, kalau melahirkan normal dengan kondisi mata minus itu sangat-sangat berisiko, tapi saya tau kemampuan diri sendiri. Kalo gak yakin, mungkin saya akan milih caesar aja tanpa pikir dua kali. So it was a crazily brave act. I am so proud of myself and I respect myself much more now.
Comments