Patah Pucuk
Salah satu goal terbesar dalam hidup saya adalah bisa mendapat gelar master dari universitas di luar negeri. Mimpi itu sudah saya pupuk sejak SMA. Saya bertekad, kalau nanti sudah dapat gelar sarjana di Indonesia, maka S2 harus di negara lain.
Saya ingat bagaimana di tahun 2012 lalu saya begitu bersemangat mengumpulkan uang untuk daftar tes IELTS. Mahal banget soalnya, hampir 2 juta rupiah. Habis itu, saya bela-belain buka YouTube tiap hari untuk belajar sesi listening supaya akrab dengan aksen British. Berhubung buku latihan IELTS juga tidak murah, saya akhirnya minta scan contoh soal dari temen saya Ririn yang kebetulan pengajar di sebuah lembaga bahasa asing. Persiapan untuk sesi writing dan speaking juga saya tekuni selama dua minggu sebelum tes.
Alhamdulillah, saya dapet skor akhir sesuai target. Saya langsung browsing universitas di Inggris dengan jurusan media digital yang saya ingini. Kenapa Inggris, bukan negara lain? Satu, saya sudah agak malas mempelajari bahasa asing lain, jadi bahasa Inggris aja deh, meski harus mendalami aksen juga. Dua, negara ini sudah jadi impian saya sejak menonton proses pemakaman Putri Diana *hahaduh aneh ya* Yaaa maksudnya karena sistem monarki dan royal family-nya. Tiga, I love history, dan Inggris/UK adalah negara kaya sejarah. Empat, saya makin cinta Inggris karena Harry Potter.
*nyengir*
Saya apply ke tiga universitas, dan keterima di dua di antaranya. Satu lagi gagal entah kenapa, tapi gak saya sesali. Kemudian saya gerilya mencari beasiswa, dari pemerintah Inggris dan pemerintah Indonesia. Selain itu saya juga apply beasiswa Uni Eropa yang menawarkan pendidikan di sebuah universitas di kota London. Pokok'e, Enggris kabeh.
Keberuntungan gak berpihak pada saya. Memasuki 2013, gak ada pengumuman yang memberi harapan. Kementerian pendidikan nasional gak ada kabar. Chevening rontok dari seleksi awal. Lalu Uni Eropa juga 'cuma' ngasih tau saya lulus di tingkat universitas, tapi untuk beasiswanya saya ada di waiting list nomer 13.
...
Saya gak patah semangat, saya kirim deferment letter ke universitas untuk mem-pending kuliah sampai tahun depan dan meminta dikirimkan Letter of Acceptance baru untuk tahun ajaran 2014/205. Di sela-sela menyiapkan pernikahan di pertengahan 2013, saya mencoba merombak personal statement saya, browsing sana-sini tentang sumber dana lain untuk kuliah.
Saya coba chevening lagi, dan di akhir tahun 2013 ada pengumuman dari Kominfo yang memberikan beasiswa S2 ke luar negeri, dan salah satu universitas yang bekerja sama dengan mereka adalah universitas yang sudah saya pilih. Saat itu kayak ada angin segar, saya seperti dikasih harapan baru, dan dengan pede-nya saya ngerasa, "Ini kayaknya petunjuk baik dari Tuhan."
Saya lalu mengikuti tes potensi akademik sebagai salah satu prasyarat dokumen kominfo. Tes pertama, gagal karena skor masih kurang. Lalu seminggu kemudian saya coba lagi, syukurlah skornya bisa diamankan. Berkas-berkas disiapkan, dilengkapi dan dikirim langsung ke sekretariat panitia.
Awal Februari, saya dihubungi pihak kementerian pendidikan, diminta datang untuk membahas proposal dana yang saya ajukan. Setelah satu jam berdiskusi, hasilnya: (agak) negatif. Mereka hanya memberi biaya hidup per bulan dan tiket pesawat, sisanya tanggung sendiri. Lah, wong tuition fee-nya aja hampir 300 juta rupiah. Saya punya duit darimana coba?
Saya banyak berdoa, tapi ada dilema juga. Kondisi saya saat itu sudah hamil dan saya kepikiran bagaimana kalau nanti saya menerima beasiswa (ge-er banget emang). Perkiraan melahirkan bulan Juli sedangkan kuliah dimulai September. Berarti mau tidak mau si baby harus dibawa dan suami harus menyertai. Artinya si masbro harus resign, artinya kami harus menempuh perjalanan panjang di pesawat dengan bayi berumur dua bulan. Belum lagi biaya hidup, gak mungkin tinggal di asrama tapi harus sewa apartemen. Dan seterusnya, saya pusing sendiri dengan hitung-hitungan.
Saya pasrah, apapun yang diberi Tuhan nanti pasti itu yang terbaik.
Minggu lalu, saya mengecek daftar peserta yang lolos tahap selanjutnya untuk beasiswa kominfo. Ada puluhan nama di sana dan tidak ada satupun nama saya. Bolak-balik saya telusuri, berharap mata saya memang lagi siwer, atau siapa tau panitianya typo. Tessa jadi Yessa, mungkin?
Belasan kali ngecek, ya memang nama saya gak ada di sana. Nyesek juga. Padahal kemarin-kemarin saya sudah ikhlas, pasrah dan siap fokus pada si baby, tapi entah kenapa pas tau gagal tetap aja sedih ya.
Tidak sampai tiga hari kemudian, saya mendapat email. Kali ini dari chevening. Kalimat pembukanya, "Due to the exceptionally high standard of applications, we regret to..." Saya langsung tutup inbox email. Ndak perlu dilanjutin, isi suratnya sama seperti tahun lalu.
Saya lalu tercenung. Life must go on. Tapi kalau boleh jujur, ada rasa marah. Rasanya sia-sia nabung untuk tes 2 juta rupiah, rasanya mubazir ikut tes potensi akademik bahkan sampai dua kali, rasanya saya sudah menyiapkan seluruh dokumen dan mengisi form dengan maksimal, rasanya saya punya potensi dan layak diberi kesempatan, sekalipun di tahap awal.
Rasanya, saya gak berhak kecewa seperti ini.. *sigh*
Abang tertua saya lalu menyarankan ikut beasiswa LPDP. Jalur lain yang memang belum sempat saya coba bahkan dari tahun 2012. Tapi setelah berpikir berulang-ulang, kembali ke poin hitung-hitungan di atas.
Mungkin inilah yang jawaban Tuhan. Kalau saya keterima, banyak hal yang dikorbankan. Pekerjaan suami, kondisi anak baru lahir, sampai kondisi saya sendiri. Apa bisa saya fokus menjadi mahasiswa, istri, sekaligus ibu menyusui?
Saya masih kecewa, masih kesel, pasti. Tapi biarlah waktu yang menghapus rasa duka. Sekarang tinggal menunggu hikmah dan menanti rencana lain dari Tuhan, yang pasti tepat untuk kebaikan bersama. Patah pucuk, pasti berganti. :)
Comments