Duka Itu
Kabar tentang kematian, selalu menyengat. Seperti setrum listrik yang tiba-tiba membuat badan tersentak.
April lalu, suami dari tante saya, pemilik rumah yang saya tumpangi setahun lebih ini, meninggal dunia setelah perjuangan gigih melawan penyakit gagal ginjal.
Om sudah pensiun, jadi kesehariannya dihabiskan di rumah. Hampir setiap pagi, saya bersama sepupu-sepupu dan Om sarapan bersama. Habis makan, beliau lalu membaca berita online dari tablet-nya, atau tak jarang beliau tertidur di kursi meja makan. Si Om orang yang humoris, luar biasa perhatian, dan yang pasti beliau sangat suka makan rame-rame. Sering beliau sengaja menunggu kami -- anak dan keponakan -- pulang kantor untuk makan malam bersama-sama.
Seminggu sebelum masuk rumah sakit, Om mengeluh kakinya sakit. Dari situ kondisinya menurun dan sejak itu pula, saya tak pernah makan pagi lagi dengan beliau.
Om dirawat intensif di ICU dan dipasang berbagai macam selang untuk menopang kondisinya. Selama sepuluh hari saya mengunjungi RS, tapi cuma sekali benar-benar masuk ke ruangannya. Gak tega rasanya melihat Om terbebat oleh segala peralatan itu.
Hingga pada 21 April, telepon tengah malam memberitahukan Om sudah tiada.
Sedih. Rasanya baru kemarin mendengarkan Om bercerita. Terutama tentang sang cucu pertama yang sedang lucu-lucunya. Semalaman, pilu rasanya mendengarkan anak-anak Om mengaji dicampur isakan tangis yang tak putus-putus. Baru kali itu saya merasakan suramnya rumah besar itu. Benak saya dihujami pertanyaan, "Bagaimana kalau saya ada di posisi mereka, kehilangan orang tua tercinta?"
Di bulan Mei, saya dapat kabar, seorang rekan kuliah harus merelakan sang anak yang belum genap 10 bulan, diambil kembali oleh Tuhan. Saya belum pernah bertemu dengan si bayi, bahkan sudah lama saya dan teman kuliah tersebut tidak bertemu. Sesak rasanya membayangkan sebuah keluarga kecil yang baru membangun rumah tangga, kehilangan buah hati pertama, bahkan di usia yang sangat muda. Apa jadinya kalau kejadian itu menimpa saya?
Penghujung Juni, sebuah berita duka kembali menghampiri. Senior saya sewaktu kuliah, meninggal dunia karena kecelakaan mobil travel CT Bandung-Jakarta. Gemetar badan saya membaca kabar itu. Senior saya tampangnya galak padahal setelah kenal orangnya kocak sekali. Seketika terbayang cengirannya yang khas, serta cara tertawanya yang lucu dan memancing tawa orang sekitarnya. Reaksi teman-teman langsung membanjiri media sosial. Haru membacanya, senior saya itu benar-benar kaya dengan pertemanan. Semua merasa kehilangan, semua tertampar kenyataan.
Pikiran saya melayang, apa yang orang pikirkan jika saya 'berpulang'?
Dulu di kelas English 101, dosen saya pernah memberi tugas membuat obituari diri sendiri. Apa kata-kata yang akan orang sampaikan tentang saya saat pemakaman. Saya ingin dikenang seperti apa, ketika wafat.
Tulisan saya kala itu: saya lulusan universitas ternama dengan sederet gelar, jadi jurnalis bertaraf internasional, mendirikan perusahaan media, memiliki yayasan sosial, dan anak cucu yang pintar dan hebat. Membaca itu kembali, saya terdiam.
Saya lupa, tidak semua sukses itu harus 'kelihatan'. Saya lupa mencantumkan apa yang (saya ingin) orang kenang dari pribadi saya. Apakah saya menyenangkan? Apakah saya menginspirasi mereka? Apa saya sudah membantu teman-teman? Apa masih ada keluarga yang saya abaikan? Atau, apa tabungan amal saya sudah cukup?
Seorang kerabat menceritakan tentang kawannya yang baru saja ditinggal sang suami. Ibu tersebut mencetuskan 'program' dengan bertanya pada dirinya setiap hari, "Sudah berbuat baik apa hari ini?" Sudah menolong orang kah? Memperbanyak ibadah? Mengonsumsi makanan sehat? Apa saja hal-hal baik, agar hati dan pikiran terasa lebih menyenangkan. "Agar saat bertemu Tuhan, sudah punya bekal," katanya.
Manusia punya batasan waktu, itu sudah pasti. Tapi kabar tentang kematian, selalu menjadi pengingat, untuk menyiapkan ikhlas dan keimanan.
"The fear of death follows from the fear of life. A man who lives fully is prepared to die at any time."
~ Mark Twain
April lalu, suami dari tante saya, pemilik rumah yang saya tumpangi setahun lebih ini, meninggal dunia setelah perjuangan gigih melawan penyakit gagal ginjal.
Om sudah pensiun, jadi kesehariannya dihabiskan di rumah. Hampir setiap pagi, saya bersama sepupu-sepupu dan Om sarapan bersama. Habis makan, beliau lalu membaca berita online dari tablet-nya, atau tak jarang beliau tertidur di kursi meja makan. Si Om orang yang humoris, luar biasa perhatian, dan yang pasti beliau sangat suka makan rame-rame. Sering beliau sengaja menunggu kami -- anak dan keponakan -- pulang kantor untuk makan malam bersama-sama.
Seminggu sebelum masuk rumah sakit, Om mengeluh kakinya sakit. Dari situ kondisinya menurun dan sejak itu pula, saya tak pernah makan pagi lagi dengan beliau.
Om dirawat intensif di ICU dan dipasang berbagai macam selang untuk menopang kondisinya. Selama sepuluh hari saya mengunjungi RS, tapi cuma sekali benar-benar masuk ke ruangannya. Gak tega rasanya melihat Om terbebat oleh segala peralatan itu.
Hingga pada 21 April, telepon tengah malam memberitahukan Om sudah tiada.
Sedih. Rasanya baru kemarin mendengarkan Om bercerita. Terutama tentang sang cucu pertama yang sedang lucu-lucunya. Semalaman, pilu rasanya mendengarkan anak-anak Om mengaji dicampur isakan tangis yang tak putus-putus. Baru kali itu saya merasakan suramnya rumah besar itu. Benak saya dihujami pertanyaan, "Bagaimana kalau saya ada di posisi mereka, kehilangan orang tua tercinta?"
Di bulan Mei, saya dapat kabar, seorang rekan kuliah harus merelakan sang anak yang belum genap 10 bulan, diambil kembali oleh Tuhan. Saya belum pernah bertemu dengan si bayi, bahkan sudah lama saya dan teman kuliah tersebut tidak bertemu. Sesak rasanya membayangkan sebuah keluarga kecil yang baru membangun rumah tangga, kehilangan buah hati pertama, bahkan di usia yang sangat muda. Apa jadinya kalau kejadian itu menimpa saya?
Penghujung Juni, sebuah berita duka kembali menghampiri. Senior saya sewaktu kuliah, meninggal dunia karena kecelakaan mobil travel CT Bandung-Jakarta. Gemetar badan saya membaca kabar itu. Senior saya tampangnya galak padahal setelah kenal orangnya kocak sekali. Seketika terbayang cengirannya yang khas, serta cara tertawanya yang lucu dan memancing tawa orang sekitarnya. Reaksi teman-teman langsung membanjiri media sosial. Haru membacanya, senior saya itu benar-benar kaya dengan pertemanan. Semua merasa kehilangan, semua tertampar kenyataan.
Pikiran saya melayang, apa yang orang pikirkan jika saya 'berpulang'?
Dulu di kelas English 101, dosen saya pernah memberi tugas membuat obituari diri sendiri. Apa kata-kata yang akan orang sampaikan tentang saya saat pemakaman. Saya ingin dikenang seperti apa, ketika wafat.
Tulisan saya kala itu: saya lulusan universitas ternama dengan sederet gelar, jadi jurnalis bertaraf internasional, mendirikan perusahaan media, memiliki yayasan sosial, dan anak cucu yang pintar dan hebat. Membaca itu kembali, saya terdiam.
Saya lupa, tidak semua sukses itu harus 'kelihatan'. Saya lupa mencantumkan apa yang (saya ingin) orang kenang dari pribadi saya. Apakah saya menyenangkan? Apakah saya menginspirasi mereka? Apa saya sudah membantu teman-teman? Apa masih ada keluarga yang saya abaikan? Atau, apa tabungan amal saya sudah cukup?
Seorang kerabat menceritakan tentang kawannya yang baru saja ditinggal sang suami. Ibu tersebut mencetuskan 'program' dengan bertanya pada dirinya setiap hari, "Sudah berbuat baik apa hari ini?" Sudah menolong orang kah? Memperbanyak ibadah? Mengonsumsi makanan sehat? Apa saja hal-hal baik, agar hati dan pikiran terasa lebih menyenangkan. "Agar saat bertemu Tuhan, sudah punya bekal," katanya.
Manusia punya batasan waktu, itu sudah pasti. Tapi kabar tentang kematian, selalu menjadi pengingat, untuk menyiapkan ikhlas dan keimanan.
"The fear of death follows from the fear of life. A man who lives fully is prepared to die at any time."
~ Mark Twain
Comments