Ida
Namanya Ida.
Terlahir dari keluarga yang mapan, agamis dan menomorsatukan pendidikan. Namun, karena krisis ekonomi Indonesia di tahun 60-an, memaksa keluarga besar Ida berhemat, memotong semua anggaran, termasuk urusan sekolah. Kala itu 1000 rupiah didepresiasi hingga 1 rupiah saja. Akhirnya cita-citanya menjadi seorang dokter harus dikubur. Selepas sekolah asisten apoteker (setingkat SMA) ia bekerja membantu kedua orang tuanya, ikut membiayai adik-adiknya yang berjumlah 6 orang untuk sekolah. Padahal, Ida adalah gadis cerdas yang berprestasi, tidak hanya akademis namun juga seni dan keterampilan.
Di perusahaan obat tempatnya bekerja, untuk pertama kalinya ia mengenal cinta. Zul, seorang calon dokter yang kerap mendatangi kantornya untuk mengurus perjanjian antara perusahaan tersebut dengan dokter Har, yang merupakan dokter terpercaya yang terkenal di kota kecil Lmb. Dokter Har adalah ayah Zul.
Namun, entah bagaimana cinta mereka tidak berlanjut. Padahal tidak ada masalah keluarga. Ketika hal tersebut kutanyakan padanya, Ida hanya tersenyum dan menjawab, "Ada ketidakcocokan saja di antara kami. Suatu hari ada masalah, dan kami tidak bisa mengatasinya, jadi ya sudah diakhiri saja." Konon, karena putus cinta, Zul yang sedang bersiap menjalani ujian profesi, sempat merasa depresi berat, hampir tidak mau ikut ujian.
Mungkin mereka memang tidak berjodoh. Entahlah. Namun, kemudian Ida bertemu seorang lelaki. Sam namanya. Ia merupakan anak dari Ibu Dar yang merupakan tetangga dari Tante Sil, sepupu dari ibunda Ida. Rumit memang. Tapi begitulah, Sam terpikat dengan kecantikan dan kecerdasan Ida. Mereka melalui proses penjajakan, dan suatu hari, Sam melamar Ida dengan menghadap Datuk, ayah Ida.
Mengingat usia perkenalan mereka yang belum terlalu lama, Datuk ragu. Apalagi menillik latar belakang Sam, yang kuliahnya belum selesai. Tapi, berkat kegigihan Sam membujuk, Datuk menyerah. Ia menyerahkan keputusan pada anak sulung kebanggaannya itu. Ida menerima dan acara pernikahan pun segera diselenggarakan.
Di awal pernikahan, Ida terus mendorong Sam sampai akhirnya dapat lulus kuliah. Ida juga masih bekerja di perusahaan obat. Anak pertama mereka lahir satu tahun kemudian. Laki-laki. Selepas kuliah, Sam membuka usaha konfeksi. Tidak ada hubungan dengan kuliah ilmu politiknya. Mungkin karena jiwa berwiraswastanya lebih besar.
Usaha tersebut terbilang sukses. Adik-adik Sam bahkan datang dari kampung, tinggal di rumah mereka di Lmb, dan disekolahkan. Kemudian anak kedua mereka lahir, masih laki-laki. Sementara itu, adik-adik Ida beberapa juga telah menamatkan sekolah mereka. Osa, adik laki-laki Ida, berhasil menyelesaikan pendidikan dokternya. Ida sangat bangga, dia berkata padaku, "Meski aku tidak jadi masuk kedokteran, melihat adikku saja, lega sekali hatiku."
Riak-riak pernikahan juga terasa di antara Sam dan Ida. Sam yang temperamen, membuat Ida harus pandai-pandai menjaga emosinya. Namun, pernikahan tersebut terbilang harmonis. Mereka tetap terlihat mesra, dan saling mendukung pekerjaan masing-masing pasangannya.
Anak ketiga mereka lahir, setelah anak pertama dan kedua berumur 5 dan 4 tahun. Lagi-lagi laki-laki. Mereka sangat menginginkan anak perempuan. Menurut para pemuka adat di kampung, anak perempuan sangat penting di suatu keluarga. Karena nantinya dia lah yang akan mengurus orangtuanya di hari tua.
Ian, adik laki-laki Ida yang satu lagi masuk ke fakultas hukum. Selain Osa dan Ian, Ida memiliki adik-adik perempuan. Mereka sering berkunjung ke rumah Ida dan Sam. Sekolah mereka juga terbantu oleh kakak mereka tersebut. Bahkan suatu kali, Mar, adik Ida melangsungkan pernikahan di rumah Ida dan Sam.
Tahun kedelapan pernikahan, baru lahir anak perempuan mereka. Saat itu, usaha Sam makin pesat. Ida sendiri, sejak kelahiran anak ketiga telah berhenti dari pekerjaannya. Kemudian Sam memikirkan tentang usaha di ibukota. Akhirnya mereka sepakat memboyong keluarga ke pulau seberang.
***
Benar kata orang, ibukota memang kejam. Usaha konfeksi yang dirintis Sam tidak berjalan mulus. Tanah dijual, harta digadaikan, demi memutar roda perusahaan. Tak jarang, Sam dan Ida harus berurusan dengan para penagih utang.
Suatu hari, datang seorang penagih utang bertampang seram ke rumah mereka. Dikeluarkannya sepucuk pistol, ditaruh di atas meja. Untuk mengintimidasi pastinya. Ida ketakutan. Menangis ia memohon pada sang penagih untuk diberikan waktu lagi. Untung saat itu anak-anaknya sedang sekolah. Anak perempuan bungsunya masih kecil dan tak tahu apa-apa. Sementara Sam, hanya terdiam, mungkin menahan amarah yang tak tersalurkan. Ia tahu, melawan hanya akan sia-sia. Senjata api itu buktinya.
Tanpa sepengetahuan Ida, Sam mulai berkenalan dengan dunia malam. Dunia yang memberinya kebebasan sesaat dari persoalan yang menimpanya. Sekali-dua kali Sam pulang pagi. Namun ia memberi alasan, sedang menjaga toko pakaian mereka yang memang ada di pinggiran kota.
Ida memutar otak demi menyokong ekonomi keluarga. Sambil terus membayar cicilan utang, ia kumpulkan sedikit demi sedikit modal. Sampai akhirnya, ia berhasil membangun sebuah warung di garasi rumah mereka. Kecil-kecilan. Saat itu ia hanya berjualan rokok, mie instan, makanan dan minuman ringan.
Sam makin tertekan. Suatu hari ia memutuskan untuk kembali ke kampung. Ia ditawari pekerjaan sebagai kontraktor. Dimodali kakak laki-lakinya. Ida dilema. Baginya, pendidikan anak-anak sudah bagus, mereka telah mendapatkan sekolah yang sesuai. Jika pindah, mereka harus menyesuaikan diri. Akhirnya diputuskan, Ida tetap tinggal di ibukota. Sam mudik dan merintis karir kembali.
Berpisah dengan suami, tentunya membuat Ida sering tidak tenang. Ia bercerita kepadaku mengapa akhirnya ia memindahkan dua anak terkecilnya untuk pindah ke kampung, sementara dua anak yang tertua dititipkannya pada sepupu, termasuk rumah dan warung kecilnya. Ia mendapat berita-berita miring seputar suaminya, mulai dari judi hingga main perempuan. Ia membulatkan tekad. Ia merasa ini semua kesalahannya, ia mengabaikan kewajibannya sebagai istri, sehingga Sam harus mencari pelampiasan di tempat lain.
***
Pulang ke kampung halaman, mencoba memperbaiki hidup ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Meski, tidak lagi dibayang-bayangi utang, kehidupannya terasa berubah. Suaminya sudah seperti orang lain, omong kasar meski tidak main tangan, pulang pagi bahkan berhari-hari tidak pulang ke rumah. Ida hanya bisa menangis. Ia menjatuhkan dirinya pada sembahyang yang tak putus-putus.
Sementara, anak lelakinya yang nomor tiga mulai remaja. Ia mencari tahu mengapa ibunya selama ini menangis. Mengapa ayahnya jarang di rumah. Mengapa ia harus melihat sindiran-sindiran dari kerabat dan relasi orangtuanya. Sejuta kata 'mengapa' diputarnya berulang-ulang di benaknya. Singkatnya, ia cari perhatian. Macam-macam yang dilakukannya. Ikut balapan motor hingga terjatuh dan kulit di lututnya robek. Melawan guru, melawan preman, hingga menghantam sepupunya sendiri. Tak terhitung berapa kali Ida bolak-balik sekolah untuk memenuhi panggilan kepala sekolah anak laki-lakinya itu.
Hampir 3 tahun keadaan tersebut berlangsung. Suatu hari, Ida mengutarakan niatnya untuk naik haji. Sam setuju, namun ia sendiri mengatakan belum siap. Akhirnya Ida berangkat sendiri. Sam bersama dua anak terkecilnya ditinggal selama kurang lebih empat puluh hari. Sepulangnya dari tanah suci, tak berapa lama, Ida malah mendengar bahwa Sam hampir menikah siri dengan seorang anak buahnya. Betapa hancur hati Ida. Ia nyaris putus asa. Dari situlah keadaan perkawinan mereka memburuk.
Hingga suatu hari, Ida terlibat pertengkaran hebat dengan Sam. Awalnya dipicu ketika mobil sedan yang biasa dipakai Ida tiba-tiba dijual oleh Sam. Alasannya, untuk membayar utang proyek. Namun, ternyata utang itu adalah tagihan judi. Ida meradang. Tak tahan dengan kebiasaan buruk suaminya, ia mengatakan bahwa Sam harus berubah. Emosi Sam memuncak. Ia pergi dari rumah dan tidak pulang berhari-hari. Ida mencoba melacaknya melalui teman-teman Sam. Hingga suatu hari, ia memergoki dengan mata kepalanya sendiri: suaminya berada di hotel, berjudi dengan teman-temannya, dan membawa wanita, entah siapa dan dari mana.
***
"Buatku perpisahan ini yang paling baik untuk kami semua," ujar Ida. Sam, sudah menikah lagi, lalu bercerai dengan dua anak, dan sekarang menikah kembali dan punya seorang putri.
Pada awal-awal setelah perceraian, Sam bahkan seperti ditelan bumi. Lepas dari tanggungjawabnya menafkahi anak-anaknya. Lagi-lagi Ida memutar otak. Warungnya dikembangkan. Ia meminjam modal dari adik laki-lakinya. Berkat kegigihannya, ia berhasil menyekolahkan keempat anaknya hingga lulus kuliah, meski dengan susah payah.
Namun, seperti kata Ida, "Bukan manusia kalau tidak punya masalah." Ada-ada saja persoalan yang dihadapinya di kemudian hari. Ibundanya yang tiba-tiba jatuh sakit dan lumpuh, anak laki-lakinya yang suka foya-foya, hingga terakhir, anak lelakinya yang lain, meminta menikah mendadak karena pacarnya sudah hamil.
Aku memahami istilah 'kasih ibu sepanjang masa'. Dan, menurutku Ida merupakan sosok ibu luar biasa. Di depan orang lain, jarang sekali ia menampakkan raut wajah sedih. Yang terlihat hanya kekuatan hati. Dengan semua persoalan hidup yang dideranya sejak muda, ia terlihat sangat matang. Aku salut.
***
Kini, Ida menikmati masa tuanya. Namun ia masih gesit. Sering kulihat ia sedang mengurusi tanaman-tanaman di halaman rumahnya. Terkadang ia masih sempat bolak-balik ke kampung halaman. Sendirian. Kemandiriannya dan ketegarannya menginspirasiku juga. Aku ikut mendoakan yang terbaik untuknya. Selalu dan selamanya.
Jatinangor, Desember 2008
for the greatest woman in the world.
Comments
Don't be afraid.
Everything's gonna be okay.
:)