Semangat Kartini di Sekolah Inklusi

"Pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan pada kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan pembentukan akhlak, karena kecerdasan otak dengan sendirinya perasaan akan menjadi beradab. Begitu banyak contoh yang tak terhitung membuktikan bahwa kecerdasan pikiran yang tinggi masih belum merupakan jaminan yang mutlak untuk keluhuran budi."

(Surat Kartini kepada Menteri Jajahan AWF Idenburg)

Namanya Suffa. Dengan seksama, gadis cilik berusia 12 tahun itu mendengarkan ibu guru yang sedang menjelaskan pendidikan kewarganegaraan. Tak lama, jari-jarinya menggerak-gerakkan pena dengan lincah di atas reglet--alat untuk menulis huruf braille.

Ini bukan pemandangan di sekolah khusus tuna netra, melainkan di sekolah dasar negeri biasa. Suffa menderita kebutaan sejak lahir. Ia pun belajar di sekolah inklusi, yakni sekolah reguler yang membaurkan anak-anak normal dan anak-anak "istimewa".

"Aku seneng di sini, guru dan temen-temennya baik," kata murid kelas enam SDN 02 Pagi Lebak Bulus, Jakarta Selatan itu sambil tersenyum.

Belajar di antara anak-anak normal bukan hal gampang. Jika guru menceritakan soal kebun binatang, misalnya, Suffa tak bisa memvisualisasikannya. Atau jika teman-temannya asyik bermain, berlari-larian, dan memilih jajanan, Suffa tak bisa melakukan hal serupa. Tapi, hal itu tidak menyurutkan semangat hidup bocah bernama Suffa Almira Barkah ini.

Nilai-nilai pelajarannya memuaskan. Bahkan ia terkadang melebihi pencapaian teman-temannya yang normal. Pesan guru tentang pentingnya toleransi terhadap sesama pun diserap baik anak-anak SD tersebut. Tak pernah ada olok-olok apalagi cibiran bagi teman mereka yang memiliki keterbatasan fisik.

Di sekolah inklusi pula, setiap anak normal atau anak berkebutuhan khusus (ABK) sama-sama diberi kesempatan untuk tampil dan menunjukkan prestasi. Suffa pun bercerita tentang keberhasilannya menjuarai lomba mengarang dan lomba menyanyi di seluruh SD inklusi tingkat provinsi DKI Jakarta.

"Aku suka nulis di diary tentang aku sehari-hari," kata penggemar Miyuki Inoue, novelis Jepang yang juga seorang tuna netra.

Dulu, Raden Ajeng Kartini memperjuangkan penghapusan diskriminasi ras dan gender dalam dunia pendidikan. Dengan kenyataan saat ini, Kartini boleh berlega hati dengan makin luasnya makna kesamaan hak asasi manusia. Sekolah inklusi adalah bukti tidak adanya diskriminasi bidang pendidikan menurut fisik. Setiap manusia punya kesempatan yang sama untuk berkembang dan mendapatkan pendidikan demi kehidupan yang lebih baik, tanpa melihat warna kulit, ras, agama, maupun kesempurnaan fisik.

"Aku pengen ke Jepang," bisik putri pasangan Dody Odianto dan Tinesi tersebut. "Pengen beli piano dan megang bunga sakura."

"Hidup itu akan indah dan berbahagia apabila dalam kegelapan kita melihat cahaya terang." Sepotong kalimat milik pahlawan asal Jepara kemudian memberikan spirit bagi perjuangan kaum perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan. Dalam pengertian ini, sekolah inklusi memberikan ruang untuk masuknya cahaya-cahaya masa depan. Dari sisi Suffa, ia merupakan anak bangsa yang mencoba menikmati cahaya-cahaya itu.

Suffa sudah membuktikannya. Bukan untuk kesetaraan laki-laki dan perempuan, tapi untuk dirinya dan anak-anak "istimewa" lainnya. Semua anak sudah semestinya belajar bersama-sama dan menerima perbedaan yang ada pada mereka dengan terbuka.

Comments

Popular posts from this blog

Utang Mengutang

Kidzania & Masa Kecil (Lumayan) Bahagia