Am I?
"Well, you're a writer, but you didn't write so many (words)." Kata-kata itu diucapkan seorang interviewer waktu saya wawancara di sebuah organisasi internasional pertengahan Maret lalu. Sebelum wawancara, ada semacam tes menulis dengan mendeskripsikan angka-angka di tabel. Saya cuma berhasil menulis satu halaman, sementara saingan-saingan saya mengerjakan 2, bahkan 3 halaman. Saat itu saya berkilah, "Well, less is more, Sir. Straight to the point." Saya, dia, dan seorang interviewer lain tertawa, meski jawaban ngeles saya gak lucu.
Dan sejak itu, kalimat you're-a-writer-but-don't-write-so-many ini menghantui otak saya sampe sekarang.
Mungkin dia benar. Saya tidak cukup banyak menulis. Selama ini yang membuat saya lancar menulis cuma curhatan-curhatan tidak penting. Saya gak bisa mengomentari fenomena atau peristiwa kemudian mengungkapkannya dengan pemikiran saya sendiri.
Di kantor, belakangan ini setiap kebagian nulis feature atau berita infotainment, saya cemas. Ide tulisan susah banget dialirkan. Inspirasi kayak ketinggalan di tempat tidur dan gak kepasang di otak saya pas berangkat kerja.
"Bikin berita ini jangan kayak humas, Tes," kata redaktur saya suatu hari. Menurut beliau, belakangan tulisan saya kaku banget kayak press release. Kurang dramatis. Yang penting beres aja, katanya.
Baca blog dan tulisan-tulisan temen-temen ataupun orang lain bikin saya makin ngerasa garing. Tinggal dipatahin kayak kerupuk. Krauk krauk krauk. Kok bisa dia nulis sebagus itu. Kok bisa dia bikin cerita semenyentuh itu. Kok bisa dia bikin cerita se-menggugah itu. Kelamaan mikir sirik dan saya pun gak bisa nemuin motivasi. Malah tambah basi. Semuanya menguap.
Sejujur-jujurnya, saya suka banget nulis. Dulu, selain bercita-cita jadi arsitek, saya juga pengen jadi penulis. Waktu SD, puisi saya tentang mama dimuat di majalah sekolah (lupa namanya, yang jelas papa saya nangis bacanya, mungkin beliau pengen dibikinin juga :p). Nilai pelajaran Bahasa Indonesia saya bagus terus dan kosa kata saya lebih banyak dari anak-anak seusia saya (maaf narsis). Mungkin pengaruh bacaan juga.
Dari kecil saya melalap apa aja yang bisa dibaca. Di luar buku cerita, percaya atau nggak, dari kecil saya suka banget baca majalah Tempo langganan papa. Pas Tempo dibredel, papa beralih ke Gatra dan antusiasme saya gak berkurang. Saya juga seneng baca koran Kompas, majalah Ananda, majalah Kartini, majalah Femina, tabloid Fantasi, majalah Kawanku, sampai majalah Gadis.
Dan sepertinya hobi nulis dan minat baca media cetak itu yang mendorong saya pengen mencicipi dunia jurnalistik.
Dan sekarang, setelah berada di dalam dunia itu, ada makhluk bernama keraguan yang nyentil-nyentil hati dan otak saya. "Yakin, ini yang lo mau?" katanya dengan nada menyebalkan.
"Iya!" kata saya pede. Tapi beberapa detik kemudian saya mulai ngelamun. Gak yakin...
Temen-temen bilang saya cuma jenuh. Saran mereka, saya terjun ke lapangan jadi reporter, atau ikut audisi presenter sekalian. Menurut mereka, saya cocok kok ada di media.
Tunggu dulu... Saya harus mempertanyakan, inikah dunia tulis-menulis yang saya mau? Saya mulai kepikiran, bukan jurnalistik tempat saya. Tapi tulis menulis yang berhubungan dengan buku. Mungkin, ini asumsi saya loh ya, saya lebih cocok di penerbitan. Baca dan mengedit. Bukan memberi laporan atas sebuah peristiwa. Tingkat petualangan saya di lapangan kurang, hehehe.
Bimbangnyaa...
Comments